Jakarta, PORTALJATIM.ID – Penasehat Dharma Wanita Persatuan Kementerian Agama RI, Eny Retno Yaqut menyebut tiga aspek penting untuk membangun lingkungan inklusif demi terpenuhinya layanan pendidikan penyandang disabilitas.
Hal ini ia pesankan dalam Peringatan Hari Disabilitas Internasional 2022 yang digelar Kementerian Agama dengan tema “Berinovasi Bangkitkan Pendidikan Inklusif” di Jakarta.
Turut hadir dalam acara tersebut, Ketua DWP RI Franka Makarim, Staf Khusus Presiden RI Angkie Yudistia, dan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag M. Ali Ramdhani
“Kita menyadari sepenuhnya bahwa untuk memberikan layanan kepada para penyandang disabilitas memerlukan biaya, sarana, kompetensi, keterampilan dan kesabaran tertentu. Karena itulah, diperlukan kerjasama dari semua pihak agar pembelajaran yang inklusif ini dapat secara bertahap kita wujudkan,” ungkap Eny, Senin (5/12/2022).
“Merujuk pada Index for Inclusion yang merupakan alat yang bisa dilakukan sekolah untuk melakukan self-assessment dalam membangun lingkungan yang inklusif, ada tiga aspek yang menjadi focus dalam index ini, yakni policy, culture dan practice,” lanjut wanita yang juga menjabat sebagai Bunda Inklusif Kemenag tersebut.
“Pertama, policy, yaitu pemegang kebijakan diharapkan mampu memproduksi kebijakan yang inklusif. Sampai sekarang banyak praktik inklusif di berbagai level pendidikan di Kemenag, baik di madrasah, pontren dan PTKI. Banyak best practices pendidikan inklusif yang muncul karena berbagai faktor dan pendorong,” jelasnya.
Faktor pendorong best practice ini, menurut Eny, yaitu nilai agama yang sarat di pesantren, kreatifitas dan komitmen para guru madrasah dan dosen PTKI, serta dorongan dan intervensi lembaga ekternal.
“Untuk itu langkah yang dilakukan dalam penyusunan payung hukum sebagai landasan dan pedoman penyelenggaraan tetap juga merujuk pada best practice yang telah ada,” terangnya.
Kedua, culture, yaitu menciptakan lingkungan dan budaya pembelajaran yang inklusif. Dukungan yang kuat dari lingkungan sekitar sangat penting dan diperlukan, baik dari teman-teman di kelas & di rumah, para guru & pegawai di lingkup sekolah, kebijakan kepala sekolah, serta dukungan orang tua di lingkungan keluarganya.
“Tidak kalah penting adalah dukungan dari orang tua siswa yang tidak berkebutuhan khusus juga harus sejalan,” jelas Eny.
Aspek ketiga menurut Eny adalah practice, yaitu membangun praktik inklusif yang terus-menerus berevolusi.
“Kami sadar, bahwa pemberian fasilitasi akomodasi yang layak kepada para penyandang disabilitas, bukanlah semata keharusan konstitusi negara, namun juga kewajiban keagamaan dan kemanusiaan. Sebab, agama sangat memuliakan manusia, apapun kondisinya,” tutup Eny.
(Zharon)